Selasa, 29 April 2014

KISAH INSPIRASI

Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 -




























KETIKA ORANG TUA BERKATA JUJUR

Kemarin lalu, saya bertakziah mengunjungi salah seorang kerabat yang sepuh. Umurnya sudah 93 tahun. Beliau adalah veteran perang kemerdekaan, seorang pejuang yang shalih serta pekerja keras. Kebiasaan beliau yang begitu hebat di usia yang memasuki 93 tahun ini, beliau tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid untuk Maghrib, Isya dan Shubuh.

Qadarallah, beliau mulai menua dan tidak mampu bangun dari tempat tidurnya sejak dua bulan lalu. Sekarang beliau hanya terbaring di rumah dengan ditemani anak-anak beliau. Kesadarannya mulai menghilang. Beliau mulai hidup di fase antara dunia nyata dan impian. Sering menggigau dan berkata dalam tidur, kesehariannya dihabiskan dalam kondisi tidur dan kepayahan.

Anak-anak beliau diajari dengan cukup baik oleh sang ayah. Mereka terjaga ibadahnya, berpenghasilan lumayan, dan akrab serta dekat. Ketika sang ayah sakit, mereka pun bergantian menjaganya demi berbakti kepada orangtua.

Namun ada beberapa kisah yang mengiris hati; kejadian jujur dan polos yang terjadi dan saya tuturkan kembali agar kita bisa mengambil ibrah.

Terkisah, suatu hari di malam lebaran, sang ayah dibawa ke rumah sakit karena menderita sesak nafas. Malam itu, sang anak yang kerja di luar kota dan baru saja sampai bersikeras menjaga sang ayah di kamar sendirian. Beliau duduk di bangku sebelah ranjang. Tengah malam, beliau dikejutkan dengan pertanyaan sang ayah,

"Apa kabar, pak Rahman? Mengapa beliau tidak mengunjungi saya yang sedang sakit?" tanya sang ayah dalam igauannya.

Sang anak menjawab, "Pak Rahman sakit juga, Ayah. Beliau tidak mampu bangun dari tidurnya." Dia mengenal Pak Rahman sebagai salah seorang jamaah tetap di masjid.

"Oh...lalu, kamu siapa? Anak Pak Rahman, ya?" tanya ayahnya kembali.

"Bukan, Ayah. Ini saya, Zaid, anak ayah ke tiga."

"Ah, mana mungkin engkau Zaid? Zaid itu sibuk! Saya bayar pun, dia tidak mungkin mau menunggu saya di sini. Dalam pikirannya, kehadirannya cukup digantikan dengan uang," ucap sang ayah masih dalam keadaan setengah sadar.

Sang anak tidak dapat berkata apa-apa lagi. Air mata menetes dan emosinya terguncang. Zaid sejatinya adalah seorang anak yang begitu peduli dengan orangtua. Sayangnya, beliau kerja di luar kota.

Jadi, bila dalam keadaan sakit yang tidak begitu berat, biasanya dia menunda kepulangan dan memilih membantu dengan mengirimkan dana saja kepada ibunya. Paling yang bisa dilakukan adalah menelepon ibu dan ayah serta menanyakan kabarnya. Tidak pernah disangka, keputusannya itu menimbulkan bekas dalam hati sang ayah.

Kali yang lain, sang ayah di tengah malam batuk-batuk hebat. Sang anak berusaha membantu sang ayah dengan mengoleskan minyak angin di dadanya sembari memijit lembut. Namun, dengan segera, tangan sang anak ditepis.

"Ini bukan tangan istriku. Mana istriku?" tanya sang ayah.

"Ini kami, Yah. Anakmu." jawab anak-anak.

"Tangan kalian kasar dan keras. Pindahkan tangan kalian! Mana ibu kalian? Biarkan ibu berada di sampingku. Kalian selesaikan saja kesibukan kalian seperti yang lalu-lalu."

Dua bulan yang lalu, sebelum ayah jatuh sakit, tidak pernah sekalipun ayah mengeluh dan berkata seperti itu. Bila sang anak ditanyakan kapan pulang dan sang anak berkata sibuk dengan pekerjaannya, sang ayah hanya menjawab dengan jawaban yang sama.

"Pulanglah kapan engkau tidak sibuk."

Lalu, beliau melakukan aktivitas seperti biasa lagi. Bekerja, shalat berjamaah, pergi ke pasar, bersepeda. Sendiri. Benar-benar sendiri. Mungkin beliau kesepian, puluhan tahun lamanya. Namun, beliau tidak mau mengakuinya di depan anak-anaknya.

Mungkin beliau butuh hiburan dan canda tawa yang akrab selayak dulu, namun sang anak mulai tumbuh dewasa dan sibuk dengan keluarganya.

Mungkin beliau ingin menggenggam tangan seorang bocah kecil yang dipangkunya dulu, 50-60 tahun lalu sembari dibawa kepasar untuk sekadar dibelikan kerupuk dan kembali pulang dengan senyum lebar karena hadiah kerupuk tersebut.

Namun, bocah itu sekarang telah menjelma menjadi seorang pengusaha, guru, karyawan perusahaan; yang seolah tidak pernah merasa senang bila diajak oleh beliau ke pasar selayak dulu. Bocah-bocah yang sering berkata, "Saya sibuk...saya sibuk. Anak saya begini, istri saya begini, pekerjaan saya begini." Lalu berharap sang ayah berkata, "Baiklah, ayah mengerti."

Kemarin siang, saya sempat meneteskan air mata ketika mendengar penuturan dari sang anak. Karena mungkin saya seperti sang anak tersebut; merasa sudah memberi perhatian lebih, sudah menjadi anak yang berbakti, membanggakan orangtua, namun siapa yang menyangka semua rasa itu ternyata tidak sesuai dengan prasangka orangtua kita yang paling jujur.

Maka sudah seharusnya, kita, ya kita ini, yang sudah menikah, berkeluarga, memiliki anak, mampu melihat ayah dan ibu kita bukan sebagai sosok yang hanya butuh dibantu dengan sejumlah uang. Karena bila itu yang kita pikirkan, apa beda ayah dan ibu kita dengan karyawan perusahaan?

Bukan juga sebagai sosok yang hanya butuh diberikan baju baru dan dikunjungi setahun dua kali, karena bila itu yang kita pikirkan, apa bedanya ayah dan ibu kita dengan panitia shalat Idul Fitri dan Idul 'Adha yang kita temui setahun dua kali?

Wahai yang arif, yang budiman, yang penyayang dan begitu lembut hatinya dengan cinta kepada anak-anak dan keluarga, lihat dan pandangilah ibu dan ayahmu di hari tua. Pandangi mereka dengan pandangan kanak-kanak kita.

Buang jabatan dan gelar serta pekerjaan kita. Orangtua tidak mencintai kita karena itu semua. Tatapilah mereka kembali dengan tatapan seorang anak yang dulu selalu bertanya dipagi hari, "Ke mana ayah, Bu? Ke mana ibu, Ayah?"

Lalu menangis kencang setiap kali ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.

Wahai yang menangis kencang ketika kecil karena takut ditinggalkan ayah dan ibu, apakah engkau tidak melihat dan peduli dengan tangisan kencang di hati ayah dan ibu kita karena diri telah meninggalkan beliau bertahun-tahun dan hanya berkunjung setahun dua kali?

Sadarlah wahai jiwa-jiwa yang terlupa akan kasih sayang orangtua kita. Karena boleh jadi, ayah dan ibu kita, benar-benar telah menahan kerinduan puluhan tahun kepada sosok jiwa kanak-kanak kita; yang selalu berharap berjumpa dengan beliau tanpa jeda, tanpa alasan sibuk kerja, tanpa alasan tiada waktu karena mengejar prestasi.

Bersiaplah dari sekarang, agar kelak, ketika sang ayah dan ibu berkata jujur tentang kita dalam igauannya, beliau mengakui, kita memang layak menjadi jiwa yang diharapkan kedatangannya kapan pun juga.

Smoga mnjadi bahan renungan bagi kita semua.
Semoga bermanfaat dan Salam Ukhuwah 


....
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Rabu, 16 April 2014

KISAH INSPIRASI ISLAMI

Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 -




























PANGGILAN

Beberapa bulan yang lalu saat saya sedang berada di tempat kerja, tiba-tiba datang seorang tamu yang kebetulan mencari salah satu staf di tempat saya kerja. Sebagai tuan rumah yang baik tentunya saya mempersilahkan tamu tersebut untuk masuk ruangan saya sembari menunggu kawan yang dicarinya.

Selang beberapa saat teman yang dicari tamu tersebut datang dan kemudian mereka berjabat tangan. Sembari mengerjakan tugas kantor yang menumpuk saya menangkap arah pembicaraan mereka. Ternyata mereka adalah Guru dan Murid.

Si murid begitu antusias untuk berbagi pengalaman dengan gurunya yang sekarang ada di depannya. Sebut saja si guru adalah pak Amir dan si murid adalah si Anwar. Selang beberapa saat berbicara si Anwar memohon ijin untuk melakukan sholat dhuzur. Kebetulan saat itu memang sudah masuk waktu sholat dhuzur.

Usai sholat, kemudian si  Anwar masuk kembali ke ruangan Pak Amir. Pak Amir kemudian bertanya mengenai pekerjaan yang dilakukan si Anwar. Anwar menjawab “Alhamdulillah Pak, hasil usaha saya cukuplah untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak saya”.

 Iseng saja saya bertanya, “memang apa mas kerjanya?”.

Dia menjawab “hanya usaha warnet”.

Pertanyaan kemudian saya lanjutkan, “memang ga rugi mas usaha warnet di saat seperti ini?”.

Dia menjawab “Alhamdulillah, rejeki sudah ada yang atur kok”. Dia menyebutkan bahwa omset warnetnya perhari tidak pernah kurang dari 100 ribu.

Jawaban yang sedikit aneh di benak saya. Bagaimana mungkin di saat banyak usaha warnet yang ada dia bisa sampai dapat omzet sampe 100 ribu?. Obrolan berhenti disini.

Saat saya memandang wajahnya, tampak bekas sebuah luka di keningnya. Kemudian saya coba bertanya mengenai luka yang ada di keningnya. Dia menjawab akibat kecelakaan yang dialaminya. Ceritanya begini.

Siang itu dia dari Surabaya hendak ke Malang karena ada suatu urusan. Sampai di daerah pandaan – Pasuruan, dia mendengar suara adzan dzuhur sudah berkumandang. Sempat dia mengucapkan kalimat “sebentar ah, nanggung, nanti sekalian sholat dzuhur di Malang. Mumpung jalanan sepi dan tidak macet”.

Selang beberapa menit kemudian dia mengalami kecelakaan. Mobil yang dikendarainya menabrak sepeda motor yang tiba-tiba berhenti di depannya. Akhir cerita akhirnya dia berurusan dengan pihak berwenang apalagi si korban meninggal dunia. Sempat dia mendekam di tahanan gara-gara kasus kecelakaan tadi.

Akhir cerita, untuk menyelesaikan permasalahan kecelakaan tadi dia menghabiskan dana tidak kurang dari 90 juta. Selain untuk menyantuni keluarga si korban kecelakaan, uang tersebut juga digunakan untuk menebus kendaraan yang ditahan sebagai barang bukti. Coba anda bayangkan seberapa banyak uang tersebut. Namun si Anwar sangat bersyukur karena dia hanya kehilangan 90 juta.

Mendengar penuturannya saya hanya bisa menghela nafas panjang. Kemudian Anwar melanjutkan ceritanya. Ternyata dia melakukan satu kesalahan fatal dan pada akhirnya dia mengalami kecelakaan tersebut. Gara-gara dia menunda waktu sholat dzuhur di perjalanan. Lalu saya bertanya, memang salah ya menunda waktu sholat apalagi sedang dalam perjalanan?

Anwar menjawab “Mas... jika anda memanggil anak anda satu kali kemudian anak anda datang, apakah anda senang atau marah?”.

Saya menjawab “senang”.

Lalu dia bertanya kembali “Kalo anda memanggil anak anda tetapi si anak bilang, sebentar yah, masing sibuk neh, bagaimana perasaan anda?”.

Saya jawab lagi “Ya kesel mas, masak anak dipanggil bapaknya malah ngasih tempo waktu”.

Kemudian si Anwar kembali bertanya kepada saya “Jika Allah SWT yang memanggil anda, untuk segera menunaikan sholat, melalui kumandang suara adzan dan anda tidak segera datang, kira-kira Allah SWT bagaimana ya mas?”

Saya tidak sanggup menjawab pertanyaan tersebut, karena faktanya selama saya bekerja, meskipun terdengar suara adzan, saya selalu tidak sholat tepat waktu”.

Lalu saya bertanya kepada anda para pembaca..

“Jika Allah SWT yang memanggil anda, untuk segera menunaikan sholat, melalui  kumandang suara adzan dan anda tidak segera datang, kira-kira Allah SWT bagaimana ya?”

....
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Selasa, 15 April 2014

KISAH INSPIRASI ISLAMI

Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1 -




























PEJABAT MODERAT

Kisah ini ditulis oleh Ustadz Hepi Andi Bastoni, dan dimuat di Majalah Sabiliku Bangkit, edisi perdana (Juni 2014). Kisah tentang bagaimana selayaknya pemimpin meletakkan gemerlap dunia di tangannya.

Abu Ubaidah bin al-Jarrah sedang berada di sebuah wilayah daerah Antokia bersama pasukan perangnya. Sahabat kepercayaan Rasulullah saw ini bersyukur karena tempat itu begitu nyaman dan menyenangkan bagi pasukannya untuk beristirahat.

Selain udaranya yang sejuk, tempat itu pun ditumbuhi pepohonan rindang. Suasana itu membuat pasukannya betah berlama-lama beristirahat di tempat tersebut. Sebagian mereka merebahkan tubuhnya, menikmati semilir angin yang berhembus.

Melihat kondisi itu, Abu Ubaidah bin al-Jarrah tiba-tiba merasa gelisah. Sesuai rencana ia memang ditempatkan di daerah subur itu oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Di satu sisi ia bersyukur dengan kondisi alamnya yang demikian nyaman.

Namun di sisi lain, ia tak mau terlena. Ia takut tergelincir dalam kemewahan hidup dan melalaikannya dari perjuangan. Abu Ubaidah bermaksud menebangi pohon-pohon di daerah itu. Sepucuk surat ia layangkan ke Khalifah Umar bin Khaththab di Madinah.

Surat itu pun segera dibalas oleh Umar seraya berkata, “Allah tidak mengharamkan semua yang baik bagi orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebajikan. Bacalah surah al-Mukminun ayat 51 yang berbunyi, “Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Umar lalu melanjutkan nasihatnya, “Seharusnya Anda memberikan kesempatan kepada pasukan untuk beristirahat di daerah yang sejuk serta memberi makan yang cukup agar mereka terbebas dari kecapekan karena memerangi kaum kafir.”

Kisah yang disajikan ulang oleh Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Abqariyatu Umar-nya ini menampakkan sisi lain dari kezuhudan Umar bin Khaththab. Kalau dalam banyak riwayat kita menjumpai anjuran Umar agar kaum Muslimin hidup sederhana dan “menghindari” kehidupan mewah, maka pada kisah ini kita menemukan sisi berbeda. Umar memerintahkan agar Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan pasukannya menikmati keindahan alam Antokia yang begitu menyenangkan.

Ini tentu saja bukan sikap tidak konsisten Umar. Pada kisah ini, Umar tidak berbuat untuk dirinya tapi buat orang lain. Lagi pula, apa yang dianjurkan Umar merupakan hal yang amat wajar dan dibenarkan syariat. Adapun terhadap hal yang menyimpang, Umar sangat tegas.

Pada kesempatan lain, sebagian kaum Muslimin banyak yang melaksanakan shalat di bawah Pohon Ridhwan. Yaitu, tempat dimana Rasulullah saw dan para sahabatnya melaksanakan Baitur Ridhwan. Melihat hal itu, Umar segera memerintahkan untuk menebang pohon tersebut meski sebagian sahabat Nabi saw lainnya tidak setuju. Umar sangat khawatir, kalau hal itu dibiarkan bisa membawa perilaku syirik.

Ini fragmen kisah yang berbeda. Umar benar-benar mengetahui perbedaan keduanya dan bagaimana mengatasinya. Sikap ini penting diteladani khususnya oleh para pejabat. Mereka harus bisa membedakan, mana yang halal dan haram. Mana zuhud dan mana miskin.
Umar amat membenci kemiskinan tapi pada saat yang sama dia begitu zuhud. Pada saat bersamaan, ia juga mempersilakan orang lain untuk menikmati kesenangan sewajarnya.

Terdapat perbedaan yang jauh antara sikap hidup zuhud dengan miskin. Allah dan Rasul-Nya amat membenci hidup miskin, tapi menganjurkan hidup zuhud. Orang-orang yang hidup zuhud adalah mereka yang secara wajar mampu menikmati kemewahan, tapi ia menghindar. Ia tidak mau mengambil kenikmatan itu dan hanya menikmati yang sedikit saja. Sekadarnya. Tidak berlebihan.

Sedangkan miskin adalah orang yang hidup susah dan tidak punya apa-apa. Umar bin Khaththab dan para sahabat Rasulullah saw adalah mereka yang hidup zuhud, bukan miskin. Sebab, kalau mereka mau, istana Persia sudah berada dalam genggaman. Kekuasaan Islam saat itu sudah melebarkan sayapnya ke segenap penjuru dengan segala kemewahannya.

Itu juga yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Bani Umayyah ini hidup zuhud dan bukan miskin. Kalau mau, Umar bin Abdul Aziz bisa mendapatkan segala kemewahan yang ia inginkan. Saat itu, ia menjabat khalifah.

Para pejabat dituntut supaya bisa membedakan mana haknya dan mana hak rakyat. Hudzaifah Ibnul Yaman pernah “menggerutu” karena Umar hanya menyajikan makanan berupa roti kering dan minyak. Padahal saat itu di dapur umum sedang dimasak makan enak. Umar menjawab, “Engkau kupanggil untuk menikmati makananku. Sedangkan yang ada di dapur umum itu bukan milikku, tapi kepunyaan kaum Muslimin.”

Bagi Umar, pejabat negara sama saja dengan rakyat jelata. Mereka harus menjadi teladan bagi rakyatnya, hidup sederhana dan wajar sebagaimana masyarakat kebanyakan. Umat tidak ingin melihat para pejabat negara, baik yang berada di pusat maupun daerah, hidup berfoya-foya sedangkan rakyatnya menderita.

Namun Umar juga tidak menyukai para pejabatnya hidup terlalu sederhana sehingga muncul kesan tidak wajar. Umar pernah menegur salah seorang pejabatnya di Yaman karena mengenakan pakaian mewah dan wewangian berlebihan.

Setahun kemudian Gubernur Yaman itu datang dengan pakaian compang-camping. Umar langsung menegurnya, “Aku tidak mengharapmu seperti ini. Demikian juga sebaliknya, aku tidak menyukaimu hidup berlebihan. Aku mengharapkan gubernurku, hidup secara wajar, tidak hidup penuh kenistaan tapi tidak juga bermegah-megahan. Kalian boleh makan, minum, dan mengenakan mewangian. Dalam tugas kalian nanti, kalian akan mengetahui apa yang aku benci.”

Umar memberikan keteladanan luar biasa kepada para pejabat bagaimana menghadapi kemewahan dunia. Para pejabat harus mampu hidup moderat, pertengahan. Ia hidup tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan.

Sikap hidup seperti ini perlu dilakukan karena pejabat adalah cermin bagi rakyatnya. Diinginkan atau tidak, ia akan menjadi sorotan pubik. Kalau kehidupan para pejabatnya foya-foya, akan muncul dua kemungkinan: ia akan dibenci rakyatnya atau rakyat akan mengikuti sikap hidupnya. Keduanya sama-sama tidak baik.

Sebaliknya, jika para pejabat hidup ternista, akan muncul juga dua kemungkinan: rakyat akan menghinakannya atau mengikutinya hidup ternista. Keduanya tidak ada yang baik. Maka, sikap hidup moderat dan sewajarnya adalah pilhan tepat.

Pada haji terakhir yang dia laksanakan sebelum wafat, Umar mengajarkan kita sebuah doa: Allahumma laa tuktsir lii minad dunya fa athgha, wa laa tuqlil lii minha fa ansaa (Ya Allah, janganlah engkau perbanyak bagiku duniaku sehingga membuatku melampaui batas. Tapi jangan juga Engkau persedikit duniaku sehingga membuatku lupa).

....
... baca selengkapnya di Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Entri Populer